Lahir dari satu keluarga yang sama, namun diperlakukan berbeda oleh orang tua, jelas membuat seorang anak merasa terpinggirkan. Inilah yang harus dihadapi Si Lazarus di masa kanak-kanaknya. Kasih sayang dan perhatian yang didapatkan saudara-saudaranya dari kedua orang tua mereka tidak pernah dirasakannya.
Belum lagi dirinya juga harus berjibaku dengan omongan para tetangga, yang mengatakan bahwa dia pantas diperlakukan seperti itu. Karena Lazarus sangat berbeda dari saudaranya dan cenderung bodoh. Padahal untuk urusan kerajinan, dia malah sangat senang membantu orang tua. Meskipun begitu, tetap saja perhatian minim yang didapatnya.
“Waktu makan, kakak dan adik di suruh makan, sedangkan saya tidak pernah. Sehingga timbul perasaan kecewa dan sakit hati karena dibedakan.”
Saat melihat ekonomi orang tua yang pas-pasan, Lazarus kecil tidak pernah mengeluh. Dia justru berusaha untuk mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya dengan bekerja angkat-angkat barang di pasar hingga larut malam.
Kelelahan? Jangan ditanya lagi. Tubuh kecilnya pasti membutuhkan istirahat. Sehingga Lazarus kerap mengantuk di kelas dan dimarahi oleh guru karena tidak mengikuti pelajaran. Mengetahui hal ini, orang tuanya marah besar dan menyalahkannya, tanpa pernah mendengar alasannya.
Lazarus pun ingin seperti saudara dan teman-temannya menjadi anak yang pintar. “Keinginan untuk pintar pasti ada. Saya ingin buktikan bahwa perkataan orang tua itu salah. Saya sampai berusaha untuk bergaul dengan teman-teman yang punya prestasi.” Namun, usaha ini ternyata tidak semudah yang dibayangkannya. Selain di tolak, Lazarus juga harus mendengar temannya menghina kedua orang tuanya.
Tidak terima, dia kemudian membalas perlakuan temannya tadi dengan mempermalukannya. Kepuasan mengerjai temannya ternyata berujung petaka. “Di situ Bapak saya marah sekali. Saya disebut membuat malu keluarga.” Sehingga Lazarus diusir dari rumah.
“Saya ingat sekali, bapak bilang, ‘pergi kamu penghalang berkat keluarga’. Padahal saya ingin orang tua bisa mengerti. Mendengar itu, rasanya sakit sekali.” Sejak saat itu, dirinya berjuang sendiri dan bertekad untuk membuktikan bahwa dia bisa berhasil, lebih dari saudara-saudaranya. Kepada banyak orang, Lazarus ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak bodoh atau lemah.
Untuk mencapainya, hanya satu ini yang terpikirkan saat itu. Yakni dengan ritual dan ilmu hitam. Setelah sekian lama melakukan ritual, kekuatan pun didapatnya. Lazarus kemudian berubah menjadi orang yang sombong. Berkelahi dan jagoan menjadi kebanggaannya.
Kebanggannya ini juga yang membawanya ke dinginnya lantai jeruji selama beberapa bulan. Ketika dipenjara, Lazarus sempat menyesali perbuatannya. “Saya pengen orang tua melihat saya. Ingin diperhatikan orang tua malah berakhir dengan sia-sia. Sehingga gairah untuk hidup juga tidak ada.”
Sekian tahun berlalu, dirinya masih tetap merasa sama. Tidak ada damai sejahtera dalam hatinya, sehingga membuat kehidupannya hampa. Hingga suatu ketika, saat dirinya terlelap, dia merasakan hal yang belum pernah dialaminya.
“Saya bermimpi dan bertemu Tuhan Yesus. Dari jauh saya bisa melihat semuanya. Namun setelah dekat, saya hanya bisa tersungkur. Tidak lama terdengar suara yang mengatakan, ‘Rus, Aku mengasihi kamu’. Saat itu saya merasakan damai sejahtera, seperti menerima hati yang baru.”
“Tuhan mengerti saya, sekalipun orang yang dekat dengan saya tidak. Dia memperhatikan saya. Dia membuat saya merasa berarti.” Lazarus merasa bahwa Tuhan telah melawatnya lewat mimpi. Damai, lega, dan beban yang terangkat, itulah yang dirasakannya saat Tuhan datang padanya.
Dari situ, dirinya kemudian bersedia untuk dilayani oleh hamba Tuhan dan berkomitmen untuk mengikut Tuhan sepenuhnya. Perlahan, Tuhan mengubahkan hidupnya. Lazarus saat ini hidup bahagia dengan pasangannya Rindu Silalahi, dan dikaruniai dua orang anak.
“Banyak perubahan yang terjadi pada suami saya. Karena kasih karunia Tuhan, dia semakin perhatian dengan keluarga dan sayang sama anak-anak.” Rindu mengaku bahwa dia sangat bahagia dengan perubahan sikap suaminya.
Selain itu sejak Lazarus mengalami kasih Tuhan, dirinya juga bersedia mengampuni semua orang yang pernah menyakitinya. Hubungan dengan orang tuanya juga dipulihkan. Dia akhirnya sadar bahwa kebahagiaan bukan bersumber dari orang tua, dari apa yang dimiliki, atau apa yang dilakukan.
Lazarus sadar bahwa kebaikan bersumber dari hati pribadi, saat hati mengenal kebenaran dan Yesus. “Yesus adalah hidup saya, orang tua, tempat mengadu, dan sahabat saya. Dia-lah yang membuat hidup saya bahagia”.
Anda
diberkati dengan artikel ini, yuk share artikel ini di Facebook-mu dan
ajak teman-temanmu untuk re-share link artikelnya. Semakin banyak yang
re-share, semakin keren hadiahnya. Keterangan lebih lanjut, KLIK DI SINI.
Demi kenyamanan Anda selama mengakses Jawaban.com, kami menggunakan cookie untuk memastikan situs web kami berfungsi dengan lancar serta memberikan konten dan fitur yang relevan untuk Anda, dan meningkatkan pengalaman Anda di situs web kami. Data Anda tidak akan pernah diperjualbelikan atau digunakan untuk keperluan pemasaran. Anda dapat memilih untuk Setuju atau Batalkan terhadap penggunaan cookie dalam situs web ini. Learn more